Sosial media kadang jadi sarana untuk mengekepresikan diri yang tidak bisa diekpresikan di dunia nyata. Ada banyak kok contohnya si A di dunai nyata ornagnya pendiam, jarang bergaul, dan introvert banget. Tapi di sosial media malah sering ngoceh, update status tiap waktu pokoknya dia ekpresikan sesuka hati.
Otomatis terjadi perubahan prilaku yang dijembatani oleh sosial media baik itu tiktok, facerbook dll.

Nah kadang di social media kita bisa menciptakan karakter baru, akun fake sebagai cara seseorang untuk menyembunyikan jati dirinya. Pro dan tidaknya sih tergantung, secara pribadi saya lebih suka untuk tidak terlalu mempublikasikan diri, Intinya tetap ada batasan untuk menjaga privasi.

Tentu setuju 100% tapi kan nyatanya tidak, berkomentar, bikin gebrakan yang berbeda saja kadang bisa diciduk. Hal ini disebabkan pemerintah mengontrol setiap aktivitas siapapun yang melanggar dapat dengan mudah ditemukan. Disinilah kita butuh satu alternatif yang 100% desentralisasi, tapi mana ada social media yang 100% desentralisasi ketika sebuah perusahaannya saja bisa ditemukan. Data penggunanya kapanpun bisa diserahkan ke pemerintah.

Untuk keamanan data pribadi itu berarti kita sejak awal jangan terlalu banyak mengekspose diri, pamer ini itu di social media. Karena kejahatan datang akibat ada sesuatu yang menarik untuk diambil.
Social media ibarat pedang bermata 2, tergantung si penggunanya mau 100% mengekpose diri atau tidak. Jadi bijak saja dalam bersosial media, sewajarnya dan tidak terlalu berlebihan. 

Kira kira siapa yang mau mendirikan desentralisasi social media jika setiap kali masuk untuk ekpansi ke negara negara harus melalui tahap pemeriksaan. Kecuali desentralisasi social media yang dibuat khusus dan mendapatkan dukungan penuh dari komunitas besar.