Miris, faktanya memang seperti agan katakan bahwa konten flexing dengan sikap keangkuhan lebih diminati dibandingkan konten edukasi, kita flashback pada saat tren robot trading tahun lalu, banyak konten ikutan trending dari beberapa "sultan" membuat konten flexing membagikan uang d cafee dan unboxing mobil mewah, tujuannya tentu ingin mendapatkan perhatian dari netizen supaya mereka mendapatkan tambahan cuan dari konten yang mereka upload. Padahal orang terkaya di Indonesia tidak membuat konten flexing apapun dan mereka terkesan lebih berpenampilan sederhana.
Itulah masyarakat kita dan mungkin tidak adanya proteksi mengenai konten yang di hasilkan oleh orang yang lebih mengutamakan edukasi dibandingkan dengan sikap keangkuhan dan pada akhirnya terjebak pada hal-hal yang berbau dengan penipuan akibat lemahnya pemahaman dan pengetahuan di seputaran masalah tersebut. Bagi mereka yang menjalankan pembuatan konten flexing tentu menargetkan keuntungan dari penonton dan kebanyakan dari mereka tidak peduli baik atau buruknya hasil. Itulah pentingnya proteksi agar kita tidak terjebak pada konten yang tidak mengedukasi dengan benar dan media online akan cukup sulit membatasi masalah tersebut karena bersifat bebas.
Meskipun ada undang-undang ITE yang melindungi, akan tetapi saya tidak tau apakah undang-undang tersebut juga mengikat kepada si pembuat konten. Apalagi yang berbau sara atau penyesatan jika menyangkut dengan kerugian yang ditimbulkan oleh konten tersebut. Kembali pada diri kita masing-masing dan sebisa mungkin memproteksi setiap konten yang dihasilkan oleh orang lain agar tidak terjebak dalam penyesatan.