Ruang gerak koruptor harus sangat dibatasi, pisahkan profesionalisme kerja dengan hubungan pertemanan. Geser kesini banyak koruptor yang justru dapat dukungan rekan-rekan, sehingga seolah-olah menjadi korban atau tidak ada pilihan.
Terlebih fenomena dimana para pelaku korupsi kerapkali bisa kembali mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau anggota DPR dan bahkan ada yang terpilih, menunjukkan betapa kaburnya batas antara profesionalisme dan hubungan pertemanan. Para koruptor kelas kakap setingkat menteri atau dirut biasanya punya kolega dengan jabatan setingkat di pemerintahan yang diharapkan bisa menjadi "penolong" ketika kasus korupsinya terkuak. Prinsip "balas budi" masih sangat kental di pemerintahan kita yang mana justru itulah yang membuat Pemerintahan menjadi hancur lebur karena pemimpin dipilih bukan karena kemampuan tetapi karena dia adalah koalisi/tim pemenangan ketika di pemilu. Inilah yang membuat kita geram ketika melihat kasus-kasus korupsi di Indonesia yang hanya memanas di awal tetapi perlahan kasusnya akan menghilang begitu saja.