Dari ketiga poin yang ane sampaikan di atas, Danantara ini berkesan menjadi super holding yang malah nyari rugi, bukan nyari untung. Seharusnya dana besar tersebut dipakai untuk hal-hal yang bisa menciptakan lapangan kerja dan menyejahterakan warga Konoha. Kalau duit warga ada, mau bayar tiket Garuda, tiket Whoosh, beli gula lebih mahal tentu menjadi mudah.
Masalah utama di Konoha ini kan warga semakin miskin -> semakin rendah daya beli -> semakin tidak ada demand untuk konsumsi barang/jasa.
keberhasilan Danantara jadi makin dipertanyakan, karena untuk membangun semua infrastruktur pasti butuh modal awal yang besar dan proses untuk 1 atau 2 tahun belum tentu bisa balik modal. Akhirnya 5 tahun belum tuntas hasil yang bisa dicapai udah ganti presiden dan makraklah project Danantara. Tanpa hasil pasti, rakyat udah rugi, aset yang tadinya untuk menargetkan keuntungan bisa digelapkan begitu saja setelah pergantian presiden baru nanti tahun 2029.
Sejujurnya seperti menambah ruang untuk pinjaman, di mana sebelumnya hanya ketika pemerintah membutuhkan pinjaman mereka akan melakukannya sesuai dengan pengaturan pemerintah dan apa yang terjadi pad BUMN mereka akan menanggulanginya, saat ini setelah DANANTARA ini hadir mereka melakukannya sendiri, seperti perusahaan terpisah dan independen untuk melakukan peminjaman dengan menggadaikan aset atau tidak pada pihak lain untuk menghindari ancaman.
Padahal sejujurnya BUMN itu kaya dan juga potensial jika di kelola dengan baik, ane melihat di sisi ain PLN bisa mendapatkan kerugian, sementara saat ini berbasis kuota dan juga jika tidak membayar langsung di putus listriknya, tetapi tetapi memiliki kerugian yang terbilang cukup aneh, apakah banyak tambang Ilegal di seluruh negeri?, ane pikir tidak.
Dengan sumberdaya alam yang begitu luas dan memiliki pasar yang bagus mengapa hal ini bisa terjadi?
ane mungkin berikir bahwa dalam pembentukan struktural dalam perusahaan di BUMN memang terlalu banyak direksi dan juga komisaris, banyak jabatan-jabatan yang tidak penting, atau banyak pekerjaan yang sejujurnya bisa di kerjakan oleh satu devisi saja yang tidak memerlukan divisi baru, sehingga tidak memiliki beban pembiayaan pekerja.
Seharusnya juga BUMN yang tidak bisa memiliki keuntungan lebih baik di bubarkan daripada terus meminta uang untuk operasional yang tidak memiliki penghasilan, tidak sedikit perusahaan BUMN seperti itu, tetapi pegawai dan akomodasinya harus tetap berjalan dan itu sama saja membuang uang uang yang tidak menghasilkan.
Efesiensi pada perusahaan BUMN Tidak di laksanakan, seharusnya memiliki konsep yang sama.
Dan kita lihat kenapa para konglomerat di Indonesia atau lebih tepatnya perusahaan swasta lebih maju, ya karena mereka memiliki visi misi yang jelas dan tidak memaksakan proyek gagal, jika tidak memiliki keuntungan, maka mereka akan memutus aliran dana untuk proyek apapun itu dan fokus memperbesar pengaruh juga pendapatan, jika di bandingan BUMN jauh lebih besar kapitalisasi dan juga lebih luas arah geraknya, di tambah lagi memainkan peran utama dalam negeri.
Jadi kita tidak bisa memiliki riset untuk teknologi baru karena kekurangan anggaran, pendapatan dari pemerintah dan juga usahanya selalu memiliki kerugian, bagaimana bisa berinovasi ? jika defisit seperti ini terus menerus, sementara inovasi itu sangat penting untuk pembukaan lapangan pekerjaan baru yang bisa di tambahkan untuk melengkapi kebutuhan masyarakat.
Dari sini juga melihat bahwa mengapa pajak terus meningkat dari banyak aspek ya karena negara tidak bisa menghasilkan uang dengan sumber daya alamnya atau mereka tidak bisa berbisnis dan hanya mengandalkan masyarakat, setelah beban ini bagaimana bisa masyarakat memanfaatkan fasilitas yang ada? jika uang mereka tidak ada, selain dari lapangan pekerjaan yang sempit, pajak yang terus meningkat dan inflasi yang tinggi, demand itu akan menghilang karena daya beli tidak ada.